Ekonomi
Alasan Mengapa Investasi Rp 1.500 Triliun Gagal Masuk ke Indonesia, Menyebabkan Reaksi Terkejut
Meskipun Indonesia memiliki potensi, hambatan birokrasi dan kompleksitas perizinan telah menyebabkan kerugian investasi sebesar Rp 1.500 triliun—apa yang dapat dilakukan untuk mengubah hal ini?

Meskipun potensi pertumbuhan yang besar, Indonesia menghadapi kerugian investasi sebesar Rp 1.500 triliun pada tahun 2024, yang terutama disebabkan oleh proses perizinan yang rumit dan hambatan birokrasi. Situasi ini bukan hanya mengecewakan; ini mencerminkan masalah sistemik yang menghambat kemajuan ekonomi kita.
Kita perlu memahami bahwa hambatan investasi ini bukan sekadar gangguan administratif; mereka merupakan ancaman serius terhadap daya saing kita di pasar global.
Salah satu penyebab utama dari unrealized investments ini adalah sistem perizinan yang kompleks. Semakin mendalami masalah ini, kita menemukan bahwa memperoleh izin yang diperlukan seringkali memerlukan persetujuan dari berbagai kementerian, menciptakan proses yang berbelit-belit dan bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Kelemahan ini menimbulkan frustrasi bagi calon investor, yang mengharapkan pendekatan yang lebih efisien. Ketika kita mempertimbangkan pentingnya pengambilan keputusan secara tepat waktu dalam bisnis, mudah untuk memahami mengapa banyak yang memilih berinvestasi di tempat lain yang prosesnya lebih menguntungkan.
Pengakuan pemerintah terhadap tumpang tindih kebijakan sebagai hambatan utama dalam menarik investasi asing merupakan poin penting. Setiap kementerian memiliki seperangkat regulasi yang berbeda, sering kali menambah lapisan kebingungan dan kesulitan, sehingga mengurangi daya saing kita di panggung internasional.
Sebagai sebuah kolektif, kita harus mengadvokasi kebijakan yang lebih jelas dan koheren yang memprioritaskan menarik investasi daripada memperumit jalan bagi mitra potensial.
Untuk mengatasi hambatan birokrasi ini, pemerintah sedang melakukan reformasi terhadap birokrasi dan regulasi perizinan. Inisiatif-inisiatif ini, meskipun menjanjikan, harus dilaksanakan dengan efektif agar memberikan dampak nyata.
Pengenalan skema “fictitious positive”, yang bertujuan mempercepat penerbitan izin, adalah langkah yang tepat. Pendekatan ini memiliki potensi untuk meningkatkan kepercayaan investor dan secara signifikan mengurangi penundaan dalam proses perizinan, menandakan bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis.
Namun, kita harus tetap waspada. Penting agar reformasi ini bukan sekadar perubahan permukaan, melainkan pergeseran mendasar dalam pendekatan kita terhadap investasi.
Monitoring secara berkelanjutan dan umpan balik dari komunitas bisnis akan memastikan bahwa kita mengatasi masalah nyata dan membuat kemajuan nyata dalam menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif.