Infrastruktur
Peneliti UGM Kritik Polisi karena Menggunakan UU ITE untuk Menangkap Terdakwa Judol: Meski Kasus Melibatkan Korupsi dan TTPU
Penyalahgunaan hukum ITE yang mencolok oleh polisi dalam sebuah kasus korupsi berprofil tinggi menimbulkan pertanyaan penting tentang akuntabilitas dan keadilan—apa implikasi yang mungkin terjadi untuk kasus-kasus di masa depan?

Ketika kita menelusuri kritik terbaru dari para peneliti UGM terkait penangkapan polisi, menjadi jelas bahwa penerapan UU ITE dalam kasus suap yang melibatkan pejabat publik menimbulkan kekhawatiran yang signifikan. Zaenur Rohman, seorang peneliti dari PUKAT UGM, telah mengungkapkan keputusan yang meresahkan dari aparat penegak hukum untuk mengkategorikan kasus ini di bawah UU ITE, alih-alih menanganinya melalui definisi korupsi yang telah mapan. Kesalahan klasifikasi ini tidak hanya meremehkan tingkat keparahan kejahatan tersebut tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas polisi dan komitmen mereka dalam memberantas korupsi secara efektif.
Kasus yang dimaksud melibatkan pejabat publik yang diduga menerima suap untuk melindungi operasi perjudian daring ilegal. Rohman menegaskan bahwa situasi ini adalah contoh jelas dari korupsi, atau Tipikor, yang menekankan pentingnya kerangka hukum yang lebih tepat untuk menangani pelanggaran semacam ini. Dengan salah menerapkan UU ITE, polisi secara tidak langsung dapat meremehkan keparahan korupsi di sektor publik, menyampaikan pesan bahwa tindakan tersebut dapat dianggap remeh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar tentang masa depan tindakan polisi dalam kasus serupa, karena dapat menetapkan preseden berbahaya dalam penanganan korupsi.
Selain itu, Rohman menekankan perlunya penyelidikan menyeluruh terhadap transaksi keuangan yang memfasilitasi suap tersebut. Ia mendesak keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak aliran keuangan ini secara efektif. Langkah ini sangat penting untuk memastikan bahwa semua aspek dari skema suap tersebut terungkap dan mereka yang bertanggung jawab dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa pengawasan dan transparansi semacam ini, kita berisiko membiarkan praktik korupsi terus berlanjut tanpa terkendali.
Selain investigasi keuangan, Rohman mendorong penerapan forensik digital dan verifikasi catatan komunikasi. Langkah-langkah ini penting untuk mengungkap bukti tersembunyi dari suap, memastikan bahwa tidak ada yang lolos dari konsekuensi tindakan mereka. Integritas lembaga penegak hukum berada di ujung tanduk, dan kita harus menuntut transparansi serta akuntabilitas untuk memulihkan kepercayaan publik.
Akhirnya, kritik dari peneliti UGM ini menjadi pengingat akan kompleksitas yang menyelimuti tindakan polisi dalam kasus korupsi. Kesalahan penerapan UU ITE tidak hanya memperumit pemahaman kita tentang korupsi tetapi juga membahayakan kepercayaan publik terhadap polisi. Kita harus mendesak pendekatan yang lebih kokoh dalam menangani korupsi, memastikan bahwa penegak hukum tetap menjadi pilar keadilan, bukan sumber kebingungan.