Sosial
Komunitas Adat Bali Dan Perjuangan Mereka Untuk Hak Atas Tanah
Konflik tanah adat di Bali memicu perjuangan komunitas lokal melawan proyek pariwisata, menantang kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya berpihak pada hak masyarakat adat.

Anda sedang menjelajahi isu kritis yang dihadapi oleh komunitas adat di Bali saat mereka berjuang untuk pengakuan hak atas tanah mereka. Klasifikasi tanah dari era kolonial masih memengaruhi konflik saat ini, meskipun sudah ada Undang-Undang Agraria tahun 1960. Proyek pariwisata semakin memperumit masalah ini, menghancurkan tanah leluhur dan mengancam mata pencaharian. Pertempuran hukum, seperti yang dimulai oleh komunitas Sigapiton melawan pengembangan pariwisata, menunjukkan perjuangan mereka untuk pelestarian budaya. Upaya pemerintah, meskipun berkembang, belum sepenuhnya menangani masalah ini, membuat komunitas skeptis. Namun, inisiatif yang dipimpin oleh komunitas dan usulan hutan adat menawarkan jalur potensial ke depan. Masih banyak yang berkembang dalam perjuangan yang beragam ini.
Konflik Kepemilikan Tanah Historis

Sepanjang sejarah, komunitas adat Bali telah menghadapi konflik kepemilikan tanah yang signifikan yang berakar pada kebijakan era kolonial. Belanda mengklasifikasikan tanah adat sebagai "hak ulayat" dan tanah jajahan sebagai "hak barat," menciptakan dikotomi hukum yang masih ada hingga hari ini. Perbedaan mendasar ini telah menyebabkan perjuangan yang berkelanjutan dalam mengamankan hak tanah formal.
Pengenalan Undang-Undang No. 5/1960 di Indonesia berusaha untuk menetapkan prinsip-prinsip agraria dasar, dengan tujuan untuk mendamaikan hak tanah adat dan formal. Namun, kurangnya dokumentasi untuk banyak tanah adat telah mempersulit transisi ini. Anda akan menemukan bahwa tanpa dokumentasi yang tepat, banyak komunitas adat kesulitan untuk mendapatkan pengakuan formal atas tanah leluhur mereka.
Sejak tahun 1970-an, kebijakan pemerintah telah semakin memperumit masalah dengan menetapkan tanah adat untuk proyek kehutanan dan pariwisata. Tindakan ini telah memperburuk perselisihan mengenai kepemilikan tanah dan akses ke sumber daya alam.
Pada tahun 2016, pembentukan BPODT untuk pengembangan pariwisata di sekitar Danau Toba memperburuk konflik ini. Penduduk adat yang telah lama tinggal di sana dilabeli sebagai penghuni ilegal, meskipun mereka memiliki keberadaan sejarah.
Meskipun Peraturan No. 276 dari Kementerian Agraria bertujuan untuk memperkuat pengakuan hukum atas hak tanah adat, banyak tanah adat masih belum mendapat pengakuan formal, yang memperpetuasi konflik.
Dampak Proyek Pariwisata
Proyek pariwisata di Bali telah secara signifikan mempengaruhi komunitas adat, seringkali memperburuk sengketa tanah yang sudah ada. Inisiatif pariwisata Bali Baru, yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, telah memperburuk konflik ini, terutama di sekitar Danau Toba. Di sini, orang-orang adat dicap sebagai penghuni ilegal, meskipun mereka telah hadir secara historis. Penunjukan semacam itu semakin memperburuk hubungan dan meningkatkan ketegangan atas kepemilikan tanah.
Kegiatan konstruksi yang terkait dengan proyek pariwisata BPODT telah menyebabkan penghancuran lahan pertanian penting, termasuk ladang jagung dan kopi. Penghancuran ini secara langsung mempengaruhi mata pencaharian lokal, mendorong komunitas ke ambang kehancuran saat fondasi ekonomi mereka runtuh.
Sementara itu, hutan Alas Mertajati, yang diubah menjadi Taman Wisata Alam pada tahun 1996, menggambarkan konflik yang sedang berlangsung antara akses publik dan hak-hak adat. Seiring meningkatnya tekanan pengembangan pariwisata, komunitas-komunitas ini menemukan tanah tradisional mereka dikomodifikasi, seringkali menjadi turis di rumah mereka sendiri.
Proyek-proyek ini tidak hanya mengancam praktik budaya tetapi juga menimbulkan risiko ekologis. Perluasan infrastruktur terkait pariwisata di daerah sensitif menimbulkan kekhawatiran tentang potensi bencana ekologis, seperti ancaman terhadap spesies endemik seperti orangutan Tapanuli. Dampak tersebut menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk pendekatan yang lebih seimbang dalam pengembangan pariwisata.
Tantangan Lingkungan dan Mata Pencaharian

Komunitas adat di Bali sedang menghadapi tantangan lingkungan dan mata pencaharian yang parah akibat proyek pengembangan besar-besaran.
Anda mungkin telah memperhatikan hilangnya lahan pertanian secara luas, terutama dengan inisiatif seperti proyek pariwisata BPODT. Ini telah merusak ladang jagung dan kopi, secara langsung mempengaruhi kemampuan komunitas Anda untuk bertahan hidup. Ini bukan masalah baru; kehilangan lahan telah menjadi masalah sejak tahun 1952, awalnya untuk reboisasi, yang hanya menambah ketidakamanan seputar lahan pertanian Anda.
Kekhawatiran lingkungan tidak hanya tentang lahan. Konversi yang sedang berlangsung telah menyebabkan berkurangnya aliran air, memaksa Anda untuk lebih mengandalkan input kimia, merusak metode pertanian tradisional dan keseimbangan ekologi.
Petani komunitas Anda juga menghadapi ancaman terhadap keanekaragaman hayati asli, berkat spesies invasif yang diperkenalkan melalui kompetisi memancing pemerintah. Ini semakin mengganggu ekosistem yang Anda andalkan.
Konsekuensinya jelas: penurunan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan yang nyata.
Anda menghadapi tantangan yang meningkat dalam memelihara tanah yang mendukung mata pencaharian Anda dan memastikan kesejahteraan generasi mendatang. Seiring dengan memburuknya lingkungan Anda, kemampuan Anda untuk bertahan hidup juga menurun, membutuhkan perhatian mendesak terhadap masalah-masalah mendesak ini.
Kebijakan Pemerintah dan Keamanan Tanah
Kebijakan pemerintah yang signifikan secara historis telah memarginalisasi komunitas adat di Bali, merusak keamanan tanah mereka. Klasifikasi tanah sebagai milik negara atau kawasan hutan telah menyebabkan perselisihan atas hak tanah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan peta indikatif yang mempengaruhi pengelolaan lahan seluas 157,5 hektar di Bali, namun hanya 7,98 hektar yang dilepaskan untuk komunitas transmigran pada Desember 2022. Hal ini menyoroti kemajuan terbatas dalam menangani klaim tanah adat.
Kerangka hukum, seperti Peraturan No. 276, telah bertujuan untuk memperkuat pengakuan hak atas tanah adat dengan memungkinkan sertifikasi tanah desa adat. Namun, banyak tanah yang masih belum mendapatkan pengakuan formal, mempersulit transisi menuju kepemilikan tanah yang aman.
Undang-Undang Agraria 1960 dan kebijakan berikutnya lebih menguntungkan kontrol negara, menciptakan lanskap hukum yang kompleks yang sering kali memprioritaskan kepentingan negara dibandingkan klaim adat. Hal ini mengakibatkan ketidakamanan yang berkelanjutan bagi petani lokal.
Advokasi terus menekankan perlunya tindakan pemerintah untuk meresmikan kepemilikan tanah, terutama bagi perempuan, guna meningkatkan ketahanan komunitas. Perubahan semacam itu sangat penting dalam mengatasi tantangan yang terus-menerus dalam mengamankan hak atas tanah dan memastikan akses yang adil bagi semua anggota komunitas.
Pertarungan Hukum dan Perlawanan Komunitas

Pertempuran hukum telah menjadi alat penting bagi komunitas Sigapiton saat mereka menolak penguasaan atas tanah leluhur mereka. Menghadapi proyek pembangunan yang sedang berlangsung oleh BPODT di sekitar Danau Toba, mereka memulai tindakan hukum terhadap badan tersebut dan beberapa kementerian. Meskipun gugatan pertama mereka ditolak karena kurangnya kedudukan hukum, mereka terus berjuang dengan mengajukan gugatan kedua pada tahun 2021. Ketekunan hukum ini menekankan tekad mereka untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas hak tanah mereka.
Sementara proses hukum berlangsung, pembangunan di dekat situs pemakaman leluhur terus berlanjut, meningkatkan kekhawatiran komunitas. Anda lihat, ini bukan hanya tentang tanah; ini tentang melestarikan warisan budaya. Protes dan petisi telah diarahkan ke badan pemerintah, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat komunitas menuntut pengakuan atas hak mereka.
Keterlibatan dengan pejabat tinggi, termasuk Luhut Binsar Panjaitan, menggambarkan kompleksitas perselisihan ini. Namun, tanggapan pemerintah sering kali menyarankan relokasi komunitas, yang memicu skeptisisme. Janji pengakuan hukum tampaknya dibayangi oleh investasi pengembangan pariwisata, membuat anggota komunitas waspada.
Bagi Sigapiton, resolusi sejati memerlukan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dengan penghormatan yang tulus terhadap hak tanah adat.
Peran Investasi dalam Sengketa Tanah
Di tengah pemandangan indah Danau Toba, dinamika investasi memainkan peran penting dalam memperburuk sengketa tanah. Proyek pariwisata Bali Baru, yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi, memprioritaskan investasi di atas hak tanah adat, membuat komunitas adat tampak sebagai penghuni ilegal. Hal ini telah meningkatkan ketegangan seiring kemajuan proyek, yang tampaknya mengabaikan signifikansi budaya dan hukum dari tanah leluhur.
Pembentukan BPODT pada tahun 2016 untuk pengembangan pariwisata telah dikritik karena terlalu condong pada kepentingan investasi. Fokus ini mengakibatkan pengabaian pengakuan hukum atas hak tanah adat, yang mengakibatkan konflik yang terus-menerus.
Dorongan untuk investasi asing, khususnya dari pemodal Tiongkok untuk usaha seperti Kaldera–Toba Nomadic Escape, menimbulkan kekhawatiran tentang potensi jebakan utang. Situasi serupa telah terjadi di negara lain, yang menimbulkan kekhawatiran tentang implikasi ekonomi untuk wilayah tersebut.
Meskipun perkembangan yang didorong oleh investasi ini, pendekatan pemerintah sering kali mengesampingkan hak-hak adat. Pengesampingan ini telah memicu protes dan tindakan hukum dari komunitas adat yang, dalam pembelaan tanah leluhur mereka, menuntut perlindungan dan pengakuan hukum yang lebih besar.
Perjuangan yang sedang berlangsung menyoroti keterkaitan kompleks antara pembangunan ekonomi dan pelestarian warisan budaya adat.
Inisiatif Komunitas untuk Hak atas Tanah

Dalam beberapa tahun terakhir, inisiatif komunitas telah mendapatkan momentum dalam perjuangan untuk hak atas tanah di Bali, menunjukkan ketahanan dan tekad kelompok-kelompok lokal. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah memainkan peran penting dengan mendukung klaim tanah untuk mantan transmigran. Mereka menekankan bahwa mengamankan hak atas tanah sangat penting untuk stabilitas ekonomi dan kesejahteraan generasi mendatang. Dukungan ini mencerminkan gerakan yang lebih luas di Bali untuk menegaskan kendali komunitas atas sumber daya tanah.
Para petani dari SPSM telah mendirikan "Desa Maju Reforma Agraria," sebuah proyek yang mempromosikan reformasi agraria. Dengan menerapkan praktik pertanian terpadu, mereka menggunakan limbah ternak sebagai pupuk, meningkatkan keberlanjutan dan berpotensi meningkatkan keuntungan. Inisiatif ini menunjukkan pendekatan inovatif untuk mengatasi tantangan terkait tanah.
Perempuan di komunitas Sumberklampok telah menjadi pemimpin dalam memperjuangkan hak atas tanah, mengorganisir pertemuan kolektif dan protes. Upaya mereka telah menghasilkan 29 perempuan menerima sertifikat tanah, menegaskan pentingnya pendaftaran tanah untuk pemberdayaan perempuan dan ketahanan komunitas.
Usulan Pemerintah Provinsi Bali tentang dua opsi redistribusi tanah menunjukkan pengakuan resmi terhadap upaya-upaya komunitas ini. Namun, advokasi yang sedang berlangsung menyoroti perlunya keterlibatan lokal untuk melindungi kepentingan petani.
Prospek Masa Depan untuk Hak Tanah Adat
Melihat ke depan, prospek masa depan hak tanah adat di Bali menawarkan baik peluang maupun tantangan. Komitmen Pemerintah Provinsi Bali untuk mendirikan 20 hutan adat di sekitar Danau Toba menunjukkan langkah potensial ke depan dalam mengakui dan melindungi tanah adat. Langkah ini dapat membuka jalan bagi pengakuan hukum yang lebih besar dan pemberdayaan komunitas lokal, sejalan dengan upaya advokasi oleh pemimpin lokal yang menekankan pentingnya mengamankan hak tanah untuk pemberdayaan komunitas.
Namun, skeptisisme tetap ada di antara anggota komunitas mengenai janji pemerintah untuk mengembalikan tanah adat. Pengalaman masa lalu telah menunjukkan bahwa meskipun janji presiden dibuat, pemenuhannya sering kali tetap tidak pasti. Skeptisisme ini terlihat dalam tindakan komunitas Sigapiton, yang telah mengejar pengakuan hukum dan perlindungan hak mereka melalui gugatan terhadap BPODT dan kementerian pemerintah.
Perselisihan semacam itu menyoroti tantangan yang sedang berlangsung dalam mencapai tanggapan yang efektif dari pihak berwenang. Dukungan dari organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menegaskan pentingnya mengamankan hak tanah untuk stabilitas ekonomi dan kesejahteraan generasi mendatang.
Saat Anda mempertimbangkan perkembangan ini, sangat penting untuk tetap waspada dan proaktif dalam memastikan bahwa komitmen diterjemahkan menjadi hasil nyata bagi komunitas adat di Bali.
Kesimpulan
Dalam tarian rumit hak tanah di Bali, Anda menyaksikan semangat tak tergoyahkan dari sebuah komunitas melawan arus perubahan. Ketika pariwisata dan investasi mengancam, suara-suara pribumi bergema melalui koridor hukum, berjuang untuk merebut kembali akar mereka. Kebijakan pemerintah mungkin berubah-ubah, tetapi tekad komunitas adalah mercusuar yang teguh. Pemahaman Anda tentang perjuangan mereka menyoroti keseimbangan yang rumit antara kemajuan dan pelestarian, mengingatkan Anda bahwa masa depan hak tanah di Bali adalah cerita yang masih berlangsung.
Sosial
Komisi III DPR Memanggil OCI untuk Membahas Eksploitasi Sirkus di Taman Safari Hari Ini
Rapat hari ini, Komisi III DPR memanggil OCI untuk membahas eksploitasi sirkus di Taman Safari, mengangkat pertanyaan mendesak tentang hak dan kesejahteraan para pelaku pertunjukan.

Saat kita menyelidiki tuduhan eksploitasi yang mengganggu di Taman Safari Indonesia, sangat penting untuk mengakui suara dari mantan pemain sirkus yang telah berani berbagi pengalaman mereka tentang perlakuan yang sangat buruk. Selama beberapa dekade, para pemain ini telah menanggung beban dari apa yang banyak orang gambarkan sebagai sistem yang kasar, dengan klaim penyalahgunaan fisik dan kondisi kerja paksa muncul sejak tahun 1970-an.
Konteks historis dari tuduhan semacam ini menekankan pola yang terus-menerus dari pelanggaran hak asasi manusia dalam lingkungan sirkus, menunjukkan kebutuhan mendesak untuk pertanggungjawaban dan reformasi.
Akun mengejutkan yang dibagikan oleh korban menyoroti tidak hanya penderitaan fisik yang ditanggung, tetapi juga trauma emosional yang ditimpakan pada mereka. Banyak pemain telah melaporkan dipisahkan dari anak-anak mereka, tindakan yang tidak hanya melanggar hak-hak dasar mereka tetapi juga merobek jaringan kehidupan keluarga.
Keparahan dari klaim ini semakin diperparah oleh laporan konsumsi paksa kotoran hewan, sebuah pelanggaran yang menjijikkan yang memunculkan pertanyaan serius tentang perlakuan terhadap individu dalam industri hiburan.
Hari ini, saat Komisi III DPR berkumpul untuk menyelidiki tuduhan serius ini, kita harus tetap fokus pada implikasi yang lebih luas untuk hak pemain dan kesejahteraan hewan. Hasil pertemuan ini berpotensi menetapkan preseden untuk bagaimana pemain diperlakukan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Sangat penting bagi mereka yang berada di posisi kekuasaan untuk mengakui bahwa eksploitasi pemain terkait erat dengan kesejahteraan hewan yang mereka kerjakan. Pengabaian hak pemain seringkali mencerminkan pengabaian terhadap kesejahteraan hewan, menciptakan siklus penyalahgunaan yang harus diputus.
Seruan untuk pertanggungjawaban dari Taman Safari dan Oriental Circus Indonesia semakin keras, karena para pendukung menuntut hak pemain dihormati dan dilindungi. Ini bukan hanya tentang individu yang telah menderita; ini tentang menciptakan lingkungan yang aman bagi semua pemain di mana mereka dapat berkembang tanpa takut akan eksploitasi atau penyalahgunaan.
Kita harus mendorong undang-undang dan pengawasan yang memastikan perlakuan yang adil, kondisi kerja yang manusiawi, dan pelestarian martabat bagi mereka yang menghibur kita.
Sosial
ABG di Bogor Ditembak dengan Senapan Angin saat Membangunkan Orang untuk Sahur, Korban Mengalami Cedera Kepala
Seorang remaja di Bogor ditembak di kepala dengan pistol airsoft karena membangunkan warga untuk sahur, menimbulkan pertanyaan mengkhawatirkan tentang keamanan komunitas. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Dalam kejadian mengkhawatirkan pada Selasa dini hari, seorang remaja berusia 17 tahun di Citereup, Bogor, terkena tembakan senapan angin di kepala saat ia membangunkan warga untuk Sahur. Kejadian ini berlangsung ketika seorang pria berusia 40 tahun bernama Heri bereaksi secara kekerasan terhadap gangguan yang dirasakan akibat tindakan remaja tersebut.
Saksi mata melaporkan melihat korban memegang kepala berdarahnya segera setelah serangan tersebut, yang tentu saja menimbulkan kekhawatiran yang signifikan di antara warga setempat.
Saat kita merenungkan insiden ini, menjadi jelas bahwa tanggapan komunitas sangat penting. Banyak di Citereup yang mengungkapkan kekecewaan mereka atas reaksi kekerasan terhadap apa yang merupakan praktik umum selama bulan suci Ramadan. Membangunkan orang lain untuk Sahur adalah tradisi yang dimaksudkan untuk meningkatkan semangat komunitas dan tujuan bersama, dan sangat disayangkan melihatnya dicemari oleh agresi seperti itu.
Polisi setempat, dipimpin oleh AKP Ari Nugroho, merespons dengan cepat dengan menangkap pelaku di tempat kejadian. Mereka saat ini sedang menyelidiki legalitas senapan angin yang digunakan dalam serangan ini. Ini menimbulkan pertanyaan penting tentang keamanan senapan angin dan tanggung jawab kepemilikan senjata di komunitas kita.
Kita semua harus mempertimbangkan implikasi dari penggunaan senapan angin untuk tujuan rekreasi. Meskipun mereka dirancang untuk olahraga, insiden seperti ini mengingatkan kita bahwa mereka juga dapat menyebabkan bahaya jika tidak ditangani dengan bertanggung jawab. Polisi harus memastikan bahwa senapan angin disimpan dan digunakan dengan aman, mencegah situasi di mana mereka dapat menjadi alat kekerasan.
Sebagai komunitas, kita perlu mengadvokasi langkah-langkah keamanan yang melindungi semua orang, terutama pemuda kita.
Korban saat ini menerima perawatan medis untuk luka-lukanya, dan penting untuk mengakui bahwa belum ada wawancara polisi resmi yang dilakukan karena perawatan yang sedang berlangsung. Ini menambahkan tingkat kompleksitas pada penyelidikan, karena kita menunggu lebih banyak detail mengenai motivasi di balik serangan ini.
Saat kita menavigasi perasaan kita tentang insiden ini, mari bersatu sebagai komunitas untuk membina pengertian dan kebaikan. Kita harus mempromosikan resolusi damai untuk konflik, menekankan komunikasi daripada kekerasan.
Tanggung jawab bersama kita untuk memastikan bahwa insiden semacam ini tidak menjadi pola di lingkungan kita. Dengan berdiri bersama, kita dapat menciptakan lingkungan di mana tradisi seperti bangun untuk Sahur dapat dirayakan tanpa rasa takut atau kekerasan.
Sosial
Prabowo Mendukung Keadilan Sosial dengan Bonus Hari Raya untuk Pengemudi Taksi Motor Online
Di balik pemberian bonus hari raya untuk para pengemudi ojol terdapat langkah besar menuju keadilan sosial dan hak-hak buruh—temukan bagaimana inisiatif ini terungkap.

Saat kita merayakan Idul Fitri yang akan datang pada tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah besar untuk memajukan keadilan sosial bagi para pengemudi ojek online (ojol) dengan mengumumkan bonus hari raya. Inisiatif ini bertujuan untuk mengakui peran penting yang dimainkan oleh para pengemudi ini di sektor transportasi dan logistik kita, terutama selama periode liburan puncak ketika permintaan meningkat.
Dengan sekitar 250.000 pengemudi ojol aktif dan tambahan 1 hingga 1,5 juta pengemudi paruh waktu di ekonomi gig, bonus ini merupakan tanda penghargaan dan dukungan yang berarti. Bonus hari raya akan diberikan dalam bentuk tunai, berdasarkan aktivitas kerja pengemudi. Pendekatan ini tidak hanya mengakui kerja keras mereka tetapi juga menekankan komitmen pemerintah terhadap kompensasi yang adil bagi pekerja ekonomi gig.
Saat kita menggali inisiatif ini, penting untuk memahami implikasinya terhadap hak-hak buruh dalam ekonomi gig. Dengan menawarkan dukungan finansial ini, pemerintah mengambil sikap proaktif dalam mengatasi tantangan yang dihadapi oleh para pengemudi ojol, yang sering bekerja dalam kondisi tidak pasti dengan manfaat terbatas.
Selanjutnya, Kementerian Ketenagakerjaan, di bawah bimbingan Menteri Yassierli, akan mengawasi regulasi jumlah bonus dan distribusinya. Ini memastikan bahwa proses tersebut tetap transparan dan adil, yang penting untuk membangun kepercayaan dalam tenaga kerja.
Kami percaya bahwa transparansi akan membantu memastikan bahwa setiap pengemudi merasa dihargai dan diakui atas kontribusinya, terutama pada saat banyak keluarga berkumpul untuk merayakan. Inisiatif ini tidak hanya tentang bantuan finansial; ini juga sejalan dengan diskusi yang lebih luas mengenai hak-hak buruh.
Dengan mengatasi kebutuhan para pengemudi ojol, kita mendukung peningkatan kondisi kerja dan moral selama periode liburan. Bonus hari raya ini dapat dilihat sebagai langkah dasar menuju lingkungan yang lebih adil bagi pekerja ekonomi gig, yang sering menghadapi ketidakpastian ekonomi dan kekurangan perlindungan tenaga kerja yang penting.
Saat kita merenungkan perkembangan ini, jelas bahwa pengakuan pemerintah terhadap pengemudi ojol adalah langkah penting untuk meningkatkan penghidupan mereka. Dengan menyediakan bonus hari raya ini, kita tidak hanya merayakan Idul Fitri; kita juga memperkuat pentingnya keadilan sosial dan hak-hak buruh dalam masyarakat kita.
Bersama-sama, kita dapat mendukung inisiatif seperti ini yang mengangkat tenaga kerja kita, memastikan bahwa mereka yang melayani kita selama waktu-waktu festif menerima penghargaan dan kompensasi yang mereka layak dapatkan.